Minggu, 18 Desember 2011

Antara Batusangkar dan Bukittinggi, sebuah cerita tentang silaturrahmi


Suatu kali saat online di sebuah jejaring sosial, tepat 11 Desember 2011, mulai percakapanku dengan sepupu,

"asslm,kama c da?"

"dak kama2 wid"
"td k prm"

"k bkt ny bl da?"

"iyo. k bkt alun lai,,"
"minggu suak h jadwalkan. a,min,,"

"yupz da,moga j,tp lw k bkt jgn lp bawain coklt ya"

"jadihh,,.."

"yang buanyaaaaaaaaaax y da"

"ha...."

"yo bana t da,yg bnyaaaaaaaak tuaaaak wd"

Berakhir percakapan singkat ku di dunia maya, maka aku mulai berpikir untuk meluangkan waktu untuk pulang kampung. Janji, itu lah yang harus ku tepati. Sebenarnya waktu itu aku masih ada janji juga pada tanggal 16 Desember 2011 untuk menghadiri kenduri kawan di Sumani, Junjung Sirih. Tentu lelah memenuhi keduanya namun tetap ku usahakan.

Bukittinggi yang ku sebutkan adalah Agam, kadang ada yang tidak mau menyamakannya. Namun aku memang ke Bukittinggi juga, ke Tarok. Bukittinggi koto rang Agam. Itu yang sering dilagukan. Pahamlah maksud yang dituju.

Sekitar pukul setengah enam sore tanggal 17 Desember 2011 mulai ku berangkat dari Batusangkar dengan sepeda motor ku. Ragu juga untuk berangkat. Ku lihat langit agak mendung di kejauhan. Kalau tidak sekarang kapan lagi pikir ku singkat. Mulai ku gas sepeda motor. Benar juga, hujan! Di tengah perjalanan hujan turun. Tetap lanjutkan perjalanan batin ku, siapa tahu hujan setempat.

Lampu ku hidupkan untuk jaga-jaga, ada benarnya juga lampu yang dihidupkan dibandingkan dengan klakson mendadak. Karena kecepatan cahaya lebih cepat daripada suara. Sehingga bisa memberitahu kendaraan lawan di depan.

Dalam perjalanan ku perhatikan mobil yang juga ikut menempuh hujan dengan ku. Iri! ya. Enak betul mobil ini, tidak basah oleh hujan seperti ku. Kalau ada kemampuan ingin juga ku miliki satu, pikir ku saat itu. Lebih aman untuk perjalanan jauh dan tidak akan basah badan kehujanan.

Lama juga di atas motor kehujanan. Tidak berhenti juga hujan ini, bukan hujan setempat kiranya. Kelok demi kelok ku lewati, jalan lurus ku tambah kecepatan sedikit. Satu kelok ku tergelincir dan nyaris jatuh karena gesekan ban dan aspal diperantarai oleh air tipis, licin. Cemas? tentu. Kemudian kuatur lagi kecepatan dan mana mengerem yang benar agar selamat sampai tujuan.

Hujan membasahi badan, dingin sekali. Bintik-bintik hujan membasahi kaca helm ku mengaburkan penglihatan. Ditambah lagi kabut tebal pegunungan kala hujan semakin memperpendek jarak pandang. Lebih kesal lagi kalau kendaraan lawan di depan menggunakan lampu sorot jauh, silau. Semakin berbahaya saja perjalanan yang ku lakukan.

Sekitar setengah tujuh aku sudah memasuki kota Bukittinggi. Selamat. Langsung ku singgah ke rumah keluarga yang ada di Pasar Bawah Bukittinggi. Sudah lebih satu tahun aku tidak kesana. Sesampai di sana, kok sepi? Pindah ke Tarok kata tetangga di sebelah. Cari alamat ku nyasar, ku tanya ke sana ke mari, akhirnya ketemu juga. Dua jam ku bercerita dan dijamu di rumah kontrakannya yang baru ini, sederhana ku lihat namun bahagia kurasakan di sini.

Aku pamit sekitar jam sebelas malam. Dingin Bukittinggi ku rasakan malam itu. Sampai juga aku di rumah adik bapak ku. Adik sepupu menyambut ku dengan segelas kopi.


*""Barang siapa yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambungkan tali silaturrahminya""


Tidak ada komentar: